Selain kewajiban yang telah dijelaskan di atas, Wajib Pajak orang pribadi juga memiliki hak perpajakan antara lain:
1. Perlindungan Kerahasiaan
Atas semua informasi yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan, antara lain SPT, laporan keuangan, dan dokumen lainnya, Wajib Pajak memiliki hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan. Namun dalam hal tertentu, misalnya penyidikan, data tersebut dapat diberikan dengan persetujuan Menteri Keuangan.
2. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Apabila dalam suatu tahun pajak ternyata PPh yang terutang dari jumlah kredit pajak (jumlah pembayaran PPh yang dibayar dan/atau PPh yang dipotong/dipungut lebih besar dari PPh yang terutang), maka Wajib Pajak berhak atas kelebihan PPh tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran PPh tersebut diberikan dalam jangka waktu dua belas bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.
3. Memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB)
Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kriteria berikut dapat
dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemugutan PPh:
a. Wajib Pajak yang dalam tahun berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
1) mengalami kerugian iskal;
BIJAK - Orang Pribadi Pintar Pajak
34
3) PPh yang telah dibayar lebih besar dari PPh yang akan terutang.
b. Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenai PPh yang
bersifat inal.
Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
PPh diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukan permohonan kecuali untuk Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau
pemungutan PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.
Permohonan harus dilampiri dengan penghitungan PPh yang
diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukan permohonan.
Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
PPh tersebut tidak berlaku untuk pemotongan dan/atau
pemungutan PPh yang bersifat inal.
4. Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
Apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan untuk memenuhi batas waktu penyampaian SPT Tahunan, Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu (menunda) penyampaian SPT Tahunan PPh untuk paling lama dua bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak. Tata cara penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan yaitu sebagai berikut:
Pemberitahuan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke KPP
sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir.
Pemberitahuan dilampiri dengan perhitungan sementara, laporan
keuangan sementara dan Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai bukti pelunasan.
Pemberitahuan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa
Wajib Pajak.
Dalam hal Pemberitahuan ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak,
Pemberitahuan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
Wajib Pajak Orang Pribadi
bukti pengiriman surat atau cara lain melalui jasa ekspedisi atau
jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, atau dengan cara e-iling
melalui ASP diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
Bukti pengiriman surat melalui pos, jasa ekspedisi atau jasa kurir atau
tanda penerimaan surat serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi bukti penerimaan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
5. Pengurangan PPh Pasal 25
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan PPh
Pasal 25 apabila setelah tiga bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak dapat membuktikan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25.
Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25
tersebut harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan- bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
BIJAK - Orang Pribadi Pintar Pajak
36
1. Ketentuan PPh atas Penghasilan Keluarga
Sistem pengenaan pajak di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga (termasuk istri dan anggota keluarga lainnya), digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak, dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Penggabungan penghasilan dari seluruh anggota keluarga dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penghasilan atau kerugian istri dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan, kecuali:
• penghasilan tersebut semata-semata diterima/diperoleh dari satu
pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21; dan
• pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau
pekerjaan bebas suaminya atau anggota keluarga lainnya.
b. Penghasilan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun dan belum pernah menikah) digabung dengan penghasilan orang tuanya. Pada dasarnya, kewajiban PPh atas penghasilan keluarga merupakan tanggung jawab kepala keluarga (suami). Namun demikian, dalam hal tertentu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami dan istri (wanita kawin) dilakukan secara terpisah, apabila:
a. suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Berikut kode status kewajiban perpajakan suami-istri sebagaimana isian dalam halaman identitas SPT Tahunan orang pribadi:
a. KK = hak dan kewajiban perpajakan dilaksanakan oleh kepala keluarga;
b. HB = suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
c. PH = suami-istri melaksanakan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
d. MT = istri memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
Pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi masing-masing jenis status tersebut
berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
BIJAK - Orang Pribadi Pintar Pajak
Kewajiban Dan Hak
Wajib Pajak Orang Pribadi
No Uraian KK HB PH MT 1 NPWP NPWP suami (kepala keluarga) NPWP masing- masing NPWP masing-masing NPWP masing-masing 2. Konsep Penghasilan Seluruh penghasilan/ kerugian istri dianggap penghasilan/ kerugian suami, kecuali penghasilan istri dari satu pemberi kerja dengan syarat sesuai Pasal 8 (1) UU PPh Seluruh penghasilan/ kerugian merupakan penghasilan atau kerugian masing-masing Seluruh penghasilan/ kerugian merupakan penghasilan atau kerugian masing-masing.
Namun demikian, dalam menghitung PPh yang terutang dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka
Seluruh penghasilan/ kerugian merupakan penghasilan atau kerugian masing- masing. Namun demikian, dalam menghitung PPh yang terutang dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami- istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka 3 Pemotongan/ Pemungutan oleh Pihak Lain Menggunakan NPWP suami Menggunakan NPWP masing- masing Menggunakan NPWP masing-masing Menggunakan NPWP masing-masing 4 Penyampaian SPT
BIJAK - Orang Pribadi Pintar Pajak
38
Contoh 1:
Pengusaha, Zidan Arserio,mempunyai seorang istri Aqeela Maheswari yang bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan swasta. Penghasilan selama tahun 2015:
- Penghasilan neto Zidan Arserio dari kegiatan usahanya sebesar Rp500.000.000,00.
- Penghasilan istri sebagai direktur perusahaan swasta dengan penghasilan neto sebesar Rp400.000.000,00.
Mengingat penghasilan istri diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja, dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami, penghasilan neto sebesar Rp400.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan Zidan
Arserio. Pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat inal.
Contoh 2:
Apabila selain menjadi direktur perusahaan swasta, Aqeela Maheswari selama tahun 2015 juga memiliki penghasilan usaha apotek dengan penghasilan neto sebesar Rp3.000.000.000,00, maka penghasilan neto Zidan Arserio dihitung sebagai berikut:
penghasilan neto Zidan Arserio dari usaha Rp 500.000.000,00 penghasilan neto Aqeela Maheswari sebagai
direktur perusahaan swasta Rp 400.000.000,00 Penghasilan neto Aqeela Maheswari dari
usaha apotek Rp 3.000.000.000,00 +
Penghasilan neto yang dilaporkan dalam SPT
Tahunan Zidan Rp 3.900.000.000,00
Karena penghasilan istri tidak semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, maka penghasilan neto istri sebesar Rp400.000.000,00 dan Rp3.000.000.000,00 digabung dengan penghasilan Zidan Arserio.